
KonekFood, Jakarta - Direktur Penganekaragaman Konsumi Pangan Rinna Syawal mengajak masyarakat untuk lebih mengenal berbagai potensi lokal mereka sebagai sumber gizi. "Potensi pangan lokal kita luar biasa. Kita ada sumber karbohidrat hingga protein nabati dan hewani yang luar biasa banyak," katanya pada Temu Ilmiah Nasional Persatuan Ahli Gizi Indonesia 2025 di Jakarta pada 12 Juli 2025.
Dengan melimpahnya sumber daya alam di Indonesia, Rinna sebenarnya cukup menyayangkan bahwa protein yang biasa dikonsumsi kebanyakan warga Indonesia hanya itu-itu saja, seperti sapi, kambing, ikan, atau ayam. Ia pun berharap lebih banyak lagi masyarakat yang menggali lebih dalam pangan lokal di daerahnya. "Prinsip utama konsumsi protein lokal itu tidak bertentangan dengan budaya, dan keyakinan di tempat tersebut," katanya.
Sebenarnya ada tiga ciri utama pangan lokal. Pertama diproduksi dan tersedia di wilayah setempat. Kedua, dikonsumsi secara nyata oleh masyarakat secara turun temurun. Terakhir tidak bertentangan dengan agama, keyakinan dan budaya setempat. "Jadi makanan daerah satu belum tentu juga cocok untuk makanan warga di tempat lain," kata Rinna.
Contohnya adalah ulat sagu. Bagi masyarakat pulau Jawa, mungkin mengkonsumsi ulat sagu kerap dianggap aneh. Namun hal itu tidak bagi masyarakat Papua, Maluku, Sulawesi Tengah, serta masyarakat Kalimantan Barat (suku dayak) dan Kalimantan Tengah. Warga Jambi, Sumatera Barat (Mentawai) dan Riau pesisir juga banyak mengkonsumsi ulat sagu. Mereka memakannya dengan dibakar, ditumis atau bahkan dikonsumsi mentah.
Dalam presentasinya, Rinna mengatakan Indonesia dianugerahi kekayaan pangan dan bahan baku kuliner melimpah. Ada 389 jenis buah-buahan, 228 jenis sayuran, 77 jenis tanaman pangan sumber karbohidrat, 75 jenis pangan sumber protein, 40 jenis bahan miinuman, 110 jenis rempah dan bumbu, serta 26 jenis kacang-kacangan yang tumbuh subur di Tanah Indonesia.
Dari angka itu, konsumsi terbesar protein Indonesia berasal dari padi-padian sebanyak 42,8 persen. Padi-padian itu dari beras, terigu, dan jagung. Ada pula 36,5 persen pangan protein hewani, dan kacang-kacangan 10,8 persen.
Salah satu cara termudah untuk mengenalkan berbagai protein lokal adalah dengan program makanan gratis. Berbagai menu yang disajikan ke anak-anak sebaiknya menggunakan pilihan pangan lokal masing-masing daerah.
Rinna juga mengatakan pengenalan pangan lokal mulai dilakukan ke beberapa sekolah melalui beberapa mata pelajaran spesifik dan muatan lokal masing-masing. Harapannya, generasi muda bisa lebih mengenal pangan lokal mereka dan akhirnya mengkonsumsinya.
Mengkonsumsi pangan lokal, kata Rinna pun memberikan manfaat yang banyak. Misalnya dari segi ekonomi, masyarakat bisa membantu menghidupkan ekonomi daerah mereka dengan pangan lokal. Artinya para petani bisa semakin berdaya menawarkan berbagai hasil bumi mereka kepada masyarakat. Harga yang nantinya ditawarkan di pasar juga pasti akan lebih terjangkau.
Dari segi isu keberlanjutan pun, mengkonsumsi pangan lokal bisa membantu mengurangi emisi karbon. Alasannya proses distribusi makanan tidak perlu menggunakan banyak transportasi dan bahan bakar karena jarak yang jauh. Konsumsi pangan lokal juga bisa melestarikan sumber daya lokal secara genetik.
Lalu manfaat pangan lokal dari segi keamanan pangan adalah dia aman dari cemaran fisik, kimia, dan biologi. Selain itu, kuliner lokal juga bisa ditelusuri dengan mudah pembuatannya. "Terakhir pangan lokal itu segar dan bergizi," kata Rinna.
Dalam hal budaya pun, masyarakat bisa membantu melestarikan kuliner lokal serta berbagai budaya yang mengikuti kuliner tersebut. "Terakhir, dilihat dari segi nasionalisme dan kebangsaan, pangan lokal bisa bantu kedaulatan dan kemandirian serta ketahanan pangan yang tangguh," katanya.
Untuk lebih meningkatkan konsumsi daerah, Rinna menghimbau agar pada pemerintah daerah, baik bupati dan walikota bisa memetakan beragai potensi pangan di daerahnya masing-masing. "Namanya pangan lokal, maka makanannya itu sangat spesifik. Pemerintah daerah perlu untuk memetakannya," katanya.
Ketua Panitia Ilmiah Nasional Persagii 2025, Marudut Sitompul mengatakan dalam forum itu, ia menyatukan para pemerhati bidang gizi, dari unsur pemerintah dan industru pangan serta organisasi kesehatan di bidang gizi dan nutrisi serta mahasiswa sarjana dan pasca sarjana. Para ahli membagikan berbagai praktik baik di daerah masing-masing soal gizi.
Nantinya berbagai hasil diskusi ini harapannya bisa mendukung pelaksanaan program pemerintah yaitu Makan Bergizi Gratis. "Forum ini dirancang oleh Persagi untuk mendukung pelaksanaan program pemerintah Makan Bergizi Gratis," katanya.
Dalam hal pangan lokal, Marudut setuju dengan Rinna, perlu dorongan lebih untuk menggaungkan konsumsi pangan lokal di tingkat nasional. Ia pun tidak ingin masyarakat lokal dipaksa untuk menyeragamkan makanan sehari-sehari mereka dengan makanan daerah lain. "Misalnya orang Papua itu harus untuk makan nasi, padahal masyarakat Papua kan terbiasa makan papeda. Bila dipaksa, akan berdampak pada permintaan beras yang nantinya akan semakin meningkat," katanya.
Ia pun sedang melakukan beberapa penelitian soal bagaimana singkong dan ubi ungu dan ubi kimpul bisa jadi pengganti nasi. Menurutnya, Indonesia memiliki banyak sumber daya umbi-umbian. Namun pilihan cara makan umbi-umbian ini masih tergolong sederhana, yaitu hanya direbus dan digoreng saja.
Sayangnya, konsumsi ubi dengan direbus saja, kurang diminati kebanyakan masyarakat, khususnya anak muda. "Dalam riset bimbingan saya, singkong itu diproses kemudian dikonsumsi dengan menu makan lainnya, akhirnya diterima oleh masyarakat. Ini masih terus kami kembangkan," katanya. Dengan cara ini, ia berharap tingkat konsumsi umbi-umbian di Indonesia semakin banyak, serta harga singkong pun bisa lebih melejit.
Comments
Post a Comment