Skip to main content

Saat Cabai dan Sambal Jadi Pemicu Interaksi Orang

Vincent Rumahloine memiliki metode untuk membantu orang memahami seni dan sains dengan cara yang sederhana. Bersama Mang Dian dan Alexander Hicks, ia memperkenalkan cabai di Jerman.

Pada masa pandemi Covid yang melanda pada tahun 2020, seniman asal Bandung, Vincent Rumahloine berpikir keras untuk tetap menghasilkan karya. "Saya seorang seniman, tapi saat itu pameran tidak bisa dilakukan, jadi kita melakukan apa?" katanya. Akhirnya bersama Mang Dian, seorang petani perkotaan yang tinggal tidak jauh darinya, Vincent memutuskan untuk menanam cabai dan mendistribusikan hasil panennya melalui program "sedekah benih". Cabai dipilih karena dapat dipanen setelah 90 hari dan bisa diolah menjadi sambal.

Dalam 90 hari, proses benih tumbuh dan berbuah cabai membuat Vincent semakin menyadari manfaat positif musik terhadap pertumbuhan tanaman, seperti yang disebutkan dalam berbagai penelitian. "Dulu alat musik Karinding sering dimainkan oleh masyarakat Sunda sebagai bagian dari ritual sebelum menanam. Ternyata saya mulai menyadari dampaknya terhadap tanaman, selain itu di Indonesia sering kita dengar kata-kata 'sering-sering ngobrol sama tanaman', ternyata ini benar-benar membantu," kata Vincent.

Sebagai seniman kontemporer yang menggarap proyek seni lintas disiplin, Vincent terus berupaya menemukan metode agar seni dan sains dapat lebih mudah diterima, akhirnya menemukan solusi bersama untuk permasalahan lingkungan. Dari program donor benih, ia bekerja sama dengan Goethe Institute Bandung dan menyelenggarakan "Konser Tanaman" pada tahun 2021.

Ternyata tanaman cabai membawa Vincent berkarya hingga ke Jerman. Pada tahun 2021, ia berhasil masuk enam besar dalam proyek "Driving the Human" yang didukung oleh kementerian lingkungan hidup Jerman. Proyek ini bertujuan untuk menjawab pertanyaan bagaimana pengetahuan tradisional dapat menyelesaikan masalah ekologi.

Pada tahun 2022, proyek akhir "Driving the Human" dipamerkan di Silent Green Berlin dalam bentuk instalasi rumah kaca di dalam ruangan. Proyek ini menghubungkan seni, ilmu pengetahuan, dan komunitas melalui tanaman.

Masih pada tahun yang sama, Vincent ikut membangun saung bambu yang ditanami cabai di Weizenhaus, Pforzheim. Di saung ini, orang-orang mulai saling berinteraksi dan membahas topik terkait tanaman, "Tanaman bisa menjadi penghubung orang untuk bertemu dan berkomunikasi," ujar seniman asal Jawa Barat itu.

Tanaman-tanaman yang dipakai Vincent dalam karya seni instalasi ini ditanam di Jerman oleh seorang pakar cabai asal Jerman, Alexander Hicks, yang didampingi oleh Mang Dian, petani perkotaan Bandung yang datang khusus ke Mannheim untuk merawat tanaman cabai tersebut.

"Cabai bukan hanya sekadar pedas dan panas, cabai memiliki rasa yang beragam dan kita dapat menggabungkannya dengan bahan-bahan lain untuk menghasilkan aroma dan rasa yang berbeda," ujar Alex.

Alex sangat bahagia dapat bekerja sama dengan Vincent, meskipun ia mengakui bahwa tidak mudah menanam cabai khas Indonesia di Jerman, "Kesulitan menanam cabai di Jerman - karena iklim yang sulit diprediksi. Seperti sekarang bulan Juli, musim panas tapi sering turun hujan. Sedangkan tanaman cabai membutuhkan sinar matahari untuk fotosintesis dan menghasilkan gula yang diperlukan untuk pertumbuhan dan perkembangannya," jelasnya.

Dari cabai hingga demo yang pedas

Di Indonesia, cabai menjadi bahan pokok yang hampir selalu tersedia di setiap rumah. Sambal bukan hanya sebagai saus pelengkap makanan, tetapi juga menjadi bagian dari kebutuhan harian masyarakat. Jika harga cabai mengalami perubahan naik-turun, hal ini dapat memberatkan masyarakat, khususnya mereka yang memiliki penghasilan rendah. Bahkan dalam laporan tahunan Bank Indonesia akhir 2024 hingga awal 2025 disebutkan bahwa perubahan harga cabai memengaruhi tingkat inflasi harga pangan di Indonesia.

"Jika harga cabai tinggi, sering menimbulkan kepanikan. Pedagang gorengan memberi sedikit cabai, berarti cabai sedang mahal. Sambal bukan hanya pelengkap di meja makan - tapi seperti lem yang menghubungkan setiap hidangan," ujar Vincent.

Awalnya demo sambal ini dibuat oleh Vincent di Bandung. "Keganggu dengan orang yang mengatakan: Oh, kalau mencari istri, carilah yang pandai menyambel. Karena cara menguleknya benar, gerakannya juga enak. Ini stigma yang ingin saya ubah." Akibatnya, 120 orang ikut dalam lomba sambal ini, dan pemenangnya adalah seorang laki-laki.

Sambal ternyata mampu menghubungkan orang tidak hanya di Bandung tetapi juga di Eropa. Ide dari workshop ini terus berkembang hingga ke Berlin. "Awalnya kita mengadakan di Praha, karena Alex memiliki banyak hasilnya, jadi kita membuat workshop sambal dan ternyata banyak yang tertarik. Jadi ini kali keempat kita mengadakan workshop sambal di Berlin. Awalnya mungkin banyak yang takut pedas, tapi ternyata setelah selesai, sambal juga bisa enak."

Bagaimana jika kepedasan?

Tidak ada percakapan hangat yang dimulai dengan Salad," ujar Alex saat membuka kelas pembuatan sambal bersama beberapa peserta dari Jerman di Berlin. "Cabai dapat meningkatkan rasa makanan. Jadi, jika makanan lezat ditambahkan sambal, rasanya akan lebih enak, dan dengan demikian kita menjadi bahagia, makan bersama teman menjadi menyenangkan, serta kita bisa terhubung dengan orang lain dengan lebih mudah.

Di dalam acara pelatihan tersebut, beberapa peserta berlatih membuat sambal dengan menggunakan ulekan. Beberapa menunjukkan bakat alami saat menghancurkan bawang putih, bawang merah, hingga cabai hingga halus, sedangkan yang lain terlihat 'berjuang keras' dalam menggerus bahan-bahan tersebut, memastikan bahan-bahan itu tidak 'menghilang' dari ulekan.

"Tidak sulit membuatnya, yang sulit adalah membuat sambal terasa lezat, bukan hanya pedas," kata Carlsten. Ia berusaha membuat sambal dengan menggabungkan cabai bahan lokal Jerman, seperti raspberry dan basil.

"Secara umum saya membeli sambal ulek di toko Turki atau toko Asia, tetapi rasanya berbeda ketika saya membuatnya sendiri dari bahan-bahan segar," kata Victor, salah satu peserta lokakarya.

Cabai secara tradisional tidak termasuk dalam masakan Jerman. Kebanyakan orang Jerman menggambarkan rasa pedas dengan menggunakan saus mustard. Namun, dengan semakin banyaknya pendatang, masakan internasional yang memiliki rasa pedas dari Amerika Selatan dan Asia semakin memperkaya dunia kuliner Jerman.

Banyak orang saat merasa pedas cenderung mencari susu atau makanan berminyak, namun Alex lebih memilih mengonsumsi sambal secara perlahan. "Banyak orang merasa mampu menghadapi rasa pedas dan langsung memakan sambal dengan cepat hingga terasa pedas, sebaiknya nikmati rasa pedas tersebut secara perlahan. Jika ada sensasi terbakar, sebaiknya berhenti sejenak, ambil napas, lalu setelah rasanya kembali normal bisa melanjutkan makan." Dengan cara ini, kita lebih "menghormati sambal" dan dapat menikmati rasanya dengan lebih baik.

Editor: Hendra Pasuhuk

ind:content_author: Sorta Caroline

Comments