KonekFood, JAKARTA — Kebijakan pemerintah yang mengendurkan pembatasan imporfood trayatau wadah makanan untuk program Makanan Bergizi Gratis (MBG) mendapat penolakan dari kalangan pengusaha di dalam negeri.
Para pengusaha menganggap kebijakan tersebut tidak sesuai karena berpotensi membahayakan kondisi industri lokal. Terlebih lagi, para pelaku industri lokal dikatakan telah melakukan investasi yang cukup besar agar mampu memproduksifood tray.
Asosiasi Produsen Kemasan Makanan Indonesia (APMAKI) menyatakan bahwa industri dalam negeri mampu memenuhi kebutuhanfood trayprogram Bantuan Langsung Tunai untuk 82,9 juta penerima pada tahun 2025.
Ketua APMAKI Robert Susanto mengatakan, anggota APMAKI telah mampu menghasilkan hingga 10 juta unit.food traysecara bulanan. Hal ini bertolak belakang dengan pernyataan pemerintah yang menyatakan bahwa produksi lokal masih belum mampu memenuhi kebutuhanfood tray untuk program MBG.
"Itu belum mencapai kondisi produksi penuh. Dengan kondisi yang normal, mampu menghasilkan 10 juta [food tray] per bulan," ujar Robert dalam konferensi pers di Jakarta Selatan, Kamis (31/7/2025).
Menurutnya, terdapat perbedaan pendapat mengenai proses produksifood trayhal ini terjadi karena kurangnya koordinasi antara produsen dan pemerintah.
Selama ini, Robert mengatakan bahwa produsen lokal bekerja secara mandiri tanpa adanya bimbingan dari kementerian yang berkaitan. "...sehingga tampaknya produsen dalam negeri belum mampu memenuhi kebutuhan"food trayuntuk program MBG ini," katanya.
Di sisi lain, asosiasi tidak setuju dengan kehadiran Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) Nomor 22 Tahun 2025 mengenai Kebijakan dan Pengaturan Impor Barang Industri Tertentu. Aturan tersebut memberikan kemudahan impor food tray untuk kebutuhan program MBG.
Hapus Izin Impor
Sekretaris Jenderal APMAKI Alie Cendrawan menyatakan, kebijakan tersebut berpotensi merugikan produsen lokal karena produk impor yang masuk kemungkinan memiliki harga yang lebih murah dibandingkan produksi dalam negeri. Meskipun demikian, dia tidak mengungkapkan negara asal dari impor tersebut.food tray yang dimaksud.
Untuk membuat produk dalam negeri mampu bersaing dengan barang impor, Alie berharap pemerintah dapat mengurangi atau bahkan mencabut izin impor guna mendukung industri lokal, khususnya bahan baku.
"Jika mungkin aturan tersebut dihapus. Ini lebih penting daripada [impor] barang jadi, sementara kami para pengusaha kesulitan mencari bahan baku dan harga bahan baku lokal masih terlalu tinggi," katanya.
Selanjutnya, Alie menyampaikan bahwa para pengusaha saat ini memutuskan untuk menunda investasinya dalam program MBG akibat kebijakan pemerintah yang membuka pintu impor.food tray.
Alie menjelaskan bahwa sejak pemerintah mengenalkan program MBG, beberapa pengusaha di bidang wadah makanan ikut terlibat dengan melakukan investasi langsung dalam program tersebut.
"Kami berangkat dari keinginan untuk membantu pemerintah dalam menjalankan program makanan bergizi gratis, itulah awalnya," katanya.
Alie menyampaikan, investasi ini muncul dari pernyataan Ketua DEN Luhut Binsar Pandjaitan melalui pernyataannya yang sempat mengajak para pengusaha lokal untuk membangun pabrik.food trayatau alat makan lainnya untuk mendukung program MBG, sehingga Indonesia tidak perlu melakukan impor.
Diharapkan, pengembangan pabrik-pabrik baru mampu memberikan kontribusi terhadap perekonomian nasional serta menciptakan peluang kerja bagi penduduk sekitar.
"Memulai dari situ, maka kami pun melakukan investasi di pabrik. Dalam investasi pabrik ini bukan hanya sedikit, melainkan miliaran, sekitar Rp300-an miliar," katanya.
Namun seiring berjalannya waktu, para pengusaha menghentikan investasinya, setelah pemerintah mengendurkan pembatasan impor.food tray untuk program MBG.
Tiba-tiba muncul peraturan [Permendag No.22/2025] sehingga semua pihak diperbolehkan untuk mengimporfood tray,” ujarnya.
Respons BGN
Badan Nutrisi Nasional (BGN) memberikan pernyataan setelah para pengusaha lokal menyampaikan kekecewaan terhadap kebijakan pemerintah yang mengizinkan impor lebih mudahfood tray untuk program MBG.
Kepala BGN Dadan Hindayana mengatakan, pemerintah sejak tahun lalu telah mengajukan permintaan kepada produsen yang tergabung dalam Asosiasi Produsen Alat Dapur dan Makanan (ASPRADAM) di dalam negeri untuk meningkatkan kapasitas produksinya.food tray guna memenuhi kebutuhan MBG.
Namun, Dadan menyampaikan bahwa permintaan tersebut tidak direspon oleh para pengusaha.
"Saya telah mengajukan permintaan kepada ASPRDAM sejak Juni 2024 terkait produksi dan mereka tidak merespons untuk melanjutkan," kata Dadan kepada Bisnis, Minggu (3/8/2025).
Menurutnya, pengusaha lokal mulai bergerak ketika program MBG berjalan dan minat mitra meningkat. Ia menilai, jika pengusaha sejak awal dapat memenuhi permintaanfood trayuntuk keperluan MBG, kebijakan pengenduran impor food tray kemungkinan besar tidak akan dilakukan.
Dadan mengatakan, BGN setidaknya memerlukan sekitar 70 juta unitfood trayuntuk November 2025. Dengan produksi lokal yang diklaim mencapai 10 juta unit per bulan, artinya menurutnya, hanya 40 juta unitfood trayyang bisa dipersiapkan oleh pelaku usaha lokal hingga November 2025.
"Jika ASPRADAM lebih dini memenuhi permintaan, pemerintah tidak perlu membuka pintu impor," katanya.
Diketahui, pemerintah melalui Kementerian Perdagangan (Kemendag) telah mengeluarkan Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) Nomor 22 Tahun 2025 terkait kebijakan dan aturan impor barang industri tertentu.
Dengan kebijakan tersebut, pemerintah memberikan relaksasi impor food tray guna memenuhi kebutuhan program MBG. Keputusan ini diambil karena pemerintah menganggap produksi lokal belum mampu memenuhi permintaan food tray untuk program MBG yang ditargetkan mencapai 82,9 juta orang pada tahun ini.
Saat itu, Dadan menyampaikan bahwa industri dalam negeri hanya mampu menghasilkan 2 juta unit wadah makanan.
"Jika 2 juta [food tray] per bulan dikalikan dengan sisa bulan ini, yaitu 6 [bulan], maka totalnya adalah 12 juta [food tray]. Namun kita pasti masih membutuhkan lebih dari jumlah tersebut," ujar Dadan saat diwawancara di Kompleks Parlemen, Jakarta, Selasa (1/7/2025).
Comments
Post a Comment