
Krisis Harga Ayam Potong Ancam Kelangsungan Usaha Pasar Tradisional Cimahi
Krisis harga ayam potong yang terjadi di pasar-pasar tradisional Kota Cimahi mulai mengancam kelangsungan hidup para pedagang kecil. Sejumlah pedagang ayam potong mengeluhkan penurunan omzet yang signifikan dalam sepekan terakhir, dengan dugaan adanya praktik jual beli ayam di bawah harga pasar yang merugikan mereka.
Menurut Agus Rudiyanto, Ketua Asosiasi Pedagang Pasar Tradisional (APPETRA) Kota Cimahi, harga ayam potong yang dijual di pasar tradisional biasanya berkisar antara Rp30 ribu per kilogram. Namun, saat ini harga turun drastis hingga mencapai Rp26 ribu per kilogram. Hal ini menurutnya tidak hanya sekadar fluktuasi pasar, tetapi lebih merupakan permainan harga yang merugikan pelaku usaha kecil.
Agus menyebutkan bahwa pedagang sudah mengambil sampel ayam tersebut untuk dianalisis lebih lanjut. Dari pengamatan awal, tekstur dan tampilan daging berbeda dibandingkan ayam yang biasa dijual di pasar tradisional. Ia juga mengungkapkan bahwa APPETRA telah mengirimkan surat permohonan audiensi resmi kepada Wali Kota Cimahi, berharap ada langkah konkret dari pemerintah kota untuk menangani masalah ini.
Jika permohonan tersebut tidak ditanggapi, Agus menyatakan bahwa para pedagang di Pasar Antri Baru serta pasar lain di Cimahi akan melakukan aksi massa. Menurutnya, hal ini bukan hanya soal harga, tetapi juga tentang kelangsungan hidup para pedagang yang merasa tidak memiliki daya tawar menghadapi toko besar dengan modal promosi besar-besaran.
Toko baru yang muncul di wilayah Cimahi diduga menjadi biang kerok dari krisis ini. Toko tersebut menjual ayam potong dengan harga jauh lebih murah dibandingkan pasar tradisional. Meski begitu, Kepala Dinas Perdagangan Koperasi UMKM dan Perindustrian (Disdagkoperin) Cimahi, Hella Haerani, mengonfirmasi bahwa toko tersebut baru beroperasi selama lima hari dan sedang dalam masa promosi.
Hella menegaskan bahwa Disdagkoperin tidak memiliki wewenang untuk menetapkan atau membatasi harga jual di lapangan. Menurutnya, harga adalah ranah pelaku usaha masing-masing. Jika toko tersebut sedang promo, itu di luar kendali pemerintah.
Namun, kondisi ini justru menambah kegelisahan para pedagang pasar tradisional. Mereka merasa tidak mampu bersaing dengan toko besar yang memiliki modal besar dan strategi pemasaran yang kuat. Fenomena ini menunjukkan bagaimana persaingan harga dapat memukul pelaku usaha kecil, terutama di sektor pangan. Bagi para pedagang, selisih harga Rp3.000–Rp4.000 bisa sangat signifikan, karena margin keuntungan mereka sangat tipis.
Pertanyaan besar muncul: Apa peran pemerintah daerah dalam melindungi pelaku usaha mikro dan kecil dari tekanan pasar yang tidak seimbang? Beberapa solusi yang diusulkan antara lain:
- Transparansi asal-usul produk: Perlu investigasi apakah ayam murah tersebut berasal dari peternakan legal dan memenuhi standar kesehatan pangan.
- Penerapan etika persaingan usaha: Pemerintah bisa menggandeng Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) jika ada dugaan praktik monopoli atau predatory pricing.
- Subsidi silang dan insentif: Pemkot bisa mempertimbangkan insentif bagi pedagang pasar agar tetap bisa bersaing secara wajar.
- Revitalisasi pasar tradisional: Tidak hanya infrastruktur, tapi juga branding dan promosi digital.
Dari sisi warga, beberapa pembeli mengaku senang dengan harga murah, tetapi sebagian lain mulai mempertanyakan kualitas dan sumber ayam tersebut. “Saya beli yang murah, tapi jujur rasanya agak aneh dan teksturnya beda,” ujar Rina, warga Leuwigajah.
Comments
Post a Comment