
WONOSOBO, KonekFood— Di sudut kecil di Wonosobo, aroma kaldu kanji panas yang dicampur bumbu kacang dan sate sapi terus tercium setiap hari.
Bagi sejumlah orang, ini hanyalah sekotak mi ongklok, makanan khas yang menjadi ciri khas wilayah pegunungan Dieng dan Kabupaten Wonosobo secara umum.
Namun, bagi Mbah Slamet yang berusia 87 tahun, hidangan ini merupakan bagian dari perjalanan hidupnya sejak pertama kali ia menjualnya pada tahun 1973.
Dengan tangan yang sudah tua namun masih gesit, ia mengaduk mi dan sayuran di atas bilah bambu yang disebut ongklok, alat yang memberi nama pada hidangan ini.
Saat ini, ia menjual di Mie Ongklok Mbah Slamet, Perempatan Sumberan, Sumberan Utara, Kecamatan Wonosobo.
"Dulu hanya ada satu atau dua penjual, sekarang sudah banyak sekali," kata Mbah Slamet, mengenang masa awal ia memulai berjualan mi ongklok di Festival Kuliner Wonosobo pada hari Minggu (23/11/2025).
Sebelum memulai usaha mi ongklok, Mbah Slamet mengakui bahwa ia sedang tidak bekerja dan tidak memiliki pekerjaan tetap. Kondisi ini mendorongnya untuk berpikir keras mencari cara untuk mendapatkan penghidupan. Ia telah mencoba beberapa jenis usaha namun belum berhasil.
"Jika tidak bekerja, kebutuhan akan kurang. Saya coba-coba saja makan ongklok," katanya.
Motif dari para pedagang keturunan Tionghoa
Inspirasi berasal dari seorang pedagang keturunan Tionghoa yang lebih dulu menjual mi serupa. Dari sana ia mempelajari cara membuat dan meracik rasa, lalu mengembangkan versi yang akhirnya menjadi khas Wonosobo.
"Saya pernah melihatnya dari orang Tiongkok dulu. Cara membuatnya, rasanya. Ya, terinspirasi dari sana," ujar Mbah Slamet.
Jadikan mi ongklok sebagai makanan khas Wonosobo yang terkenal
Ia menjadi salah satu pelaku yang memperkenalkan mi ongklok secara mandiri, bahkan sebelum hidangan tersebut menjadi ikon wisata lokal.
Ia terus mengembangkan wayang ongklok hingga saat ini diakui sebagai warisan budaya tak benda oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbudristek).
Mi yang dibuat oleh Mbah Slamet terdiri dari mi, kucai, kol, dan tahu. Seluruh bahan dimasak dan dicampurkan.
Kuahnya kaya akan tepung kanji, sehingga memiliki tekstur yang berbeda dibandingkan mi kuah biasa.
“Jenang lah citane (bentuknya mirip jenang),” kata Mbah Slamet menggambarkan tekstur kuah mie ongklok yang kental.
Tidak berhenti sampai di situ, ciri khas terbesar dari hidangan Mbah Slamet adalah pelengkap sate sapi. Berbeda dengan banyak penjual mi yang memilih sate ayam, ia tetap memegang prinsip rasa.
"Jika ayam rasanya tidak sesuai. Yang tepat adalah sapi," tegasnya.
Sekarang, satu porsi mi ongklok dijual dengan harga Rp 8.000, sedangkan sepuluh tusuk sate sapi dijual seharga Rp 30.000. Paket lengkapnya hanya Rp 38.000, harga yang membuat makanan khas ini tetap terjangkau bagi berbagai kalangan.
Bagi Mbah Slamet, mi ongklok bukan hanya bisnis kuliner, tetapi juga sumber penghasilan utama keluarga. Bahkan usaha ini telah didukung oleh anak-anaknya yang akan mengambil alih usaha tersebut di masa depan.
"Bagus untuk keperluan sehari-hari, serta mendidik anak-anak," katanya.
Ia memiliki dua putra laki-laki, keduanya tumbuh dan bersekolah berkat hasil mengaduk mi dan membakar sate di warung kecil tersebut.
Sekarang di usianya yang hampir seratus tahun, Mbah Slamet masih tetap berdagang. Tidak ada cabang lain, tidak ada perluasan yang besar. Baginya, mempertahankan rasa dan kesederhanaan adalah bentuk kesetiaan terhadap tradisi.
"Hanya satu, tidak ada cabang," katanya.
Sekarang, mi ongklok bukan hanya menjadi makanan rakyat, tetapi juga ikon pariwisata yang harus dicoba saat mengunjungi Wonosobo dan Dieng. Banyak warung modern muncul, dilengkapi dengan branding dan promosi online.
Namun, kehadiran Mbah Slamet sebagai ikon kuliner tidak hanya terkait dengan rasanya, tetapi juga melibatkan sejarah sosial, perjalanan budaya, dan identitas lokal.
Warungnya mungkin sederhana, tetapi ia termasuk dalam generasi yang berupaya mempertahankan resep tradisional agar tetap bertahan di tengah arus modernisasi.
Saat ditanya mengenai usianya, ia tersenyum ringan. "Sekarang 87," katanya pelan, usia yang sebagian besar dihabiskan di dekat panci yang sedang mendidih.
Mi ongklok khas Mbah Slamet bukan hanya sekadar hidangan. Ia merupakan kisah tentang kreativitas masyarakat, penyesuaian budaya Tiongkok, serta bagaimana sebuah piring makanan hangat mampu menjadi sumber penghidupan selama lebih dari lima puluh tahun.
Comments
Post a Comment