
KonekFood, Jakarta- Program andalan Presiden Prabowo Subianto,makan bergizi gratis(MBG) sering menjadi perhatian masyarakat. Alih-alih menjadi cara untuk memperbaiki gizi anak, pelaksanaannya di beberapa daerah justru menimbulkan kasus keracunan yang melibatkan banyak orang. Belum lagi isu perselisihan antarmitra dapur, hingga dugaan kurangnya pengelolaan dan pengawasan terhadap kualitas pangan.
Kasus terbaru terjadi di Sekolah Menengah Pertama Negeri 8 Kota Kupang, Nusa Tenggara Timur, pada Selasa, 22 Juli 2025. Ratusan siswa dibawa ke rumah sakit dengan keluhan mual, muntah, dan diare. Berdasarkan keterangan guru sekolah tersebut, gejala muncul setelah siswa mengonsumsi paket makan siang MBG sehari sebelumnya yang berisi lauk rendang, tahu, sayur wortel, dan kacang panjang serta buah pisang.
"Awalnya ditangani di UKS, tetapi karena jumlahnya terlalu banyak, kami merujuk ke RSUD SK Lerik dan rumah sakit lainnya," ujar Brigina, guru SMPN 8 Kupang.
Kepala Badan Gizi Nasional (BGN) Dadan Hindayana menyatakan bahwa siswa yang diduga mengalami keracunan tidak mengonsumsi menu MBG pada hari Selasa, melainkan menu dari hari Senin. Sampel makanan telah dikumpulkan oleh Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM), namun hingga saat ini hasilnya belum diumumkan. Penyebab pasti dari kasus keracunan tersebut masih belum diketahui.
SMPN 8 Kupang bukanlah kejadian yang terisolasi. Dalam enam bulan pelaksanaan program, beberapa kejadian serupa terjadi, misalnya di Sumba Timur, NTT (Februari 2025) 29 siswa SD mengalami keracunan. Selain itu di Sukoharjo, Jawa Tengah (Januari 2025) 10 siswa mengalami mual dan sakit perut. Berikutnya di Bombana, Sulawesi Tenggara (April 2025) belasan siswa muntah setelah mencium aroma amis dari paket makanan.
Bahkan pernah terjadi di Cianjur, Jawa Barat (April 2025), 78 siswa dari dua sekolah mengalami kejadian luar biasa (KLB) setelah mengonsumsi makanan MBG.
Sebelumnya, ahli gizi Tan Shot Yen pernah menyampaikan bahwa insiden keracunan massal seharusnya dapat dihindari jika prinsip dasar pengolahan makanan dalam skala besar dilaksanakan dengan tepat. Ia menekankan perlunya penerapan prinsip HACCP (Hazard Analysis and Critical Control Point) agar makanan yang didistribusikan aman untuk dikonsumsi.
"Mulai dari pemilihan bahan, penyimpanan, proses pengolahan, pengemasan, pendistribusian, hingga penyajian – semuanya perlu diawasi," kata Tan saat dihubungi pada Jumat, 25 April 2025.
Ia juga menyesali tidak adanya pelatihan teknis dan simulasi yang memadai sebelum program dijalankan. "Jika belum siap, katakan saja belum siap. Jangan mengorbankan anak-anak hanya karena ambisi politik," katanya.
Tan juga menyarankan agar dapur MBG sebaiknya dibangun di sekolah atau melibatkan kantin yang sudah ada. Menurutnya, sistem saat ini yang mengandalkan dapur mitra di luar sekolah rentan mengalami kegagalan dalam pengendalian mutu dan distribusi.
Keruwetan MBG tidak berhenti pada isu keamanan pangan. Persoalan juga muncul antara mitra dapur umum dan yayasan mitra BGN, seperti yang terjadi di Kalibata, Jakarta Selatan. Dapur milik Ira Mesra harus menghentikan aktivitasnya karena belum dibayar hingga hampir Rp 1 miliar oleh yayasan Berkat Media Nusantara (MBN), yang bekerja sama dengan BGN.
Kepala BGN Dadan Hindayana menyatakan bahwa ia telah membantu dalam proses mediasi, tetapi menolak untuk mengambil tanggung jawab atas masalah keuangan tersebut. "Itu adalah urusan internal antara mitra dapur dan yayasan," katanya.
Meskipun demikian, menurut peneliti ICW Dewi Anggraeni, model pelaksanaan program yang bergantung pada skema semacam ini justru berpotensi menimbulkan masalah baru. "Lebih baik dihentikan saja daripada terus menyebabkan perselisihan," ujar Dewi.
Dewi menganggap tidak adanya satu komando antara BGN dan mitra menyebabkan kekacauan dalam rantai distribusi serta perencanaan anggaran. Padahal, anggaran MBG mencapai triliunan rupiah setiap tahun dan melibatkan jutaan penerima manfaat di seluruh Indonesia.
Program MBG juga dikritik terkait transparansi harga dan kualitas makanan. Harga paket makanan awalnya ditetapkan sebesar Rp 15 ribu, tetapi kemudian turun menjadi Rp 10 ribu. Hal ini memengaruhi kualitas makanan yang diterima oleh siswa. Bahkan pada tahap awal peluncuran, paket MBG tidak menyertakan susu seperti yang dijanjikan dalam kampanye.
Kepala Keadilan Fiskal Celios, Media Wahyu Askar, menyebut hal ini sebagai bukti bahwa program disusun tanpa persiapan yang matang. "Jika ingin dilanjutkan, perlu dilakukan evaluasi besar: transparansi anggaran, partisipasi masyarakat sipil, dan audit tata kelola," ujar Media.
Mengamati penumpukan masalah, mulai dari kasus keracunan, isu pembayaran mitra, kelemahan dalam sistem pengawasan pangan, hingga ketidakjelasan otoritas yang bertanggung jawab, ia menilai terdapat alasan kuat untuk menghentikan program MBG secara menyeluruh.
Comments
Post a Comment